:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/surabaya/foto/bank/originals/Dewi-Astutik-gembong-narkoba-jaringan-golden-triangle.jpg)
Jakarta – Dunia kriminalitas transnasional kembali terguncang. Sebuah nama yang terdengar sederhana dan sangat “Indonesia”, Dewi Astutik, kini menjadi tajuk utama pemberitaan internasional. Perempuan berusia 43 tahun yang akrab disapa “Mami” di dunia bawah tanah ini bukan penjahat kelas teri. Ia adalah sosok sentral di balik pengendalian jaringan narkotika Golden Triangle atau Segitiga Emas, dengan jejak kejahatan yang mencengangkan: penyelundupan dua ton sabu senilai lebih dari Rp5 triliun.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh jua. Pada Selasa, 2 Desember 2025, pelarian panjang Dewi berakhir di Sihanoukville, Kamboja. Operasi gabungan yang melibatkan Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Interpol, dan kepolisian Kamboja berhasil membekuk sang “Ratu Narkoba” tanpa perlawanan berarti di sebuah lobi hotel.
Transformasi Kelam: Dari Ponorogo ke Kartel Asia
Kisah Dewi Astutik adalah sebuah paradoks. Ia berasal dari Dusun Sumber Agung, Ponorogo, Jawa Timur, sebuah daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kejahatan internasional. Di kampung halamannya, ia dikenal sebagai sosok yang samar. Para tetangga hanya mengenalnya sebagai mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang pernah mengadu nasib di Taiwan dan Hong Kong.
Kepala Dusun setempat, Gunawan, bahkan mengaku tidak pernah berinteraksi intens dengan Dewi. Memori warga tentangnya terhenti pada momen Lebaran 2023, saat ia berpamitan untuk bekerja di Kamboja karena alasan ekonomi. Siapa sangka, kepergiannya ke Kamboja bukan untuk menjadi pekerja migran biasa, melainkan untuk mengendalikan imperium narkotika.
Aparat menduga, pengalaman Dewi bekerja di berbagai negara Asia memberinya akses dan jejaring yang kemudian disalahgunakan. Lebih licin lagi, Dewi diketahui memanipulasi identitasnya. Ia diduga menggunakan data diri adiknya untuk membuat paspor dan KTP atas nama “Dewi Astutik”, sebuah strategi identity fraud yang memungkinkannya bergerak di bawah radar imigrasi selama bertahun-tahun.
Operasi Senyap di Sihanoukville
Penangkapan Dewi bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari pengintaian intelijen yang presisi. Kepala BNN, Komjen Suyudi Ario Seto, mengungkapkan bahwa operasi ini dipimpin langsung oleh Direktur Penindakan dan Pengejaran BNN, Roy Hardi Siahaan, dengan dukungan penuh intelijen dari BAIS TNI yang dipimpin Yudi Abrimantyo.
Dewi, yang telah masuk dalam daftar Red Notice Interpol sejak 2024, terdeteksi berada di Sihanoukville. Kota pesisir di Kamboja ini memang kerap menjadi sorotan sebagai basis operasi sindikat kejahatan siber dan narkotika internasional. Saat disergap aparat gabungan, Dewi tak berkutik.
Statusnya sebagai buronan ternyata tidak hanya dicari oleh Indonesia. Otoritas Korea Selatan juga memburu Dewi, menandakan betapa luasnya jangkauan operasional jaringan yang ia kendalikan. BNN menyebutkan bahwa jaringan Dewi tidak hanya bermain di sabu-sabu. Mereka mendistribusikan kokain, ketamin, dan heroin ke pasar Asia Timur dan Asia Tenggara.
Jejak Hitam di Bandara Soetta
Keterlibatan Dewi dalam dunia hitam ini ternyata sudah tercium lama oleh otoritas kepabeanan Indonesia. Kepala Kantor Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo, membuka fakta mengejutkan bahwa Dewi pernah terlibat dalam penyelundupan 2,3 kilogram heroin melalui bandara.

Barang haram tersebut, yang awalnya tampak sebagai kasus penyelundupan biasa, setelah dikembangkan ternyata mengarah pada satu nama besar: Dewi Astutik. Fakta ini memperkuat posisi Dewi sebagai intellectual dader atau pelaku intelektual, bukan sekadar kurir lapangan. Ia adalah otak yang mengatur logistik, pendanaan, dan rute distribusi.
Diplomasi dan Penegakan Hukum
Penangkapan ini juga menjadi bukti suksesnya diplomasi hukum Indonesia. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bergerak cepat memfasilitasi proses repatriasi atau pemulangan Dewi ke Tanah Air. Direktur Hukum dan Perjanjian Politik dan Keamanan Kemlu, Indra Rosandry, menegaskan bahwa pemulangan ini adalah implementasi nyata dari Konvensi Antinarkoba 1988 yang diratifikasi oleh Indonesia dan Kamboja.
Setibanya di Indonesia, Dewi tidak hanya akan menghadapi dakwaan penyelundupan narkotika. Ia juga dibidik dengan pasal pencucian uang (TPPU) dan pemalsuan identitas. BNN bertekad memiskinkan jaringan ini dengan menelusuri seluruh aset yang dihasilkan dari bisnis haram tersebut.
Kasus Dewi Astutik menjadi pengingat keras bahwa ancaman narkoba kini semakin kompleks. Sindikat internasional tidak lagi didominasi oleh wajah asing, tetapi juga merekrut dan memanfaatkan warga negara Indonesia yang memiliki mobilitas lintas negara. Penangkapan “Mami” ini diharapkan mampu memutus salah satu mata rantai terbesar suplai narkoba di Asia Tenggara, sekaligus menyelamatkan jutaan anak bangsa dari jeratan barang haram tersebut.
Kini, sang Ratu Narkoba harus menukar kemewahan hidupnya di pelarian dengan dinginnya jeruji besi, mempertanggungjawabkan triliunan rupiah uang haram dan kerusakan massal yang ditimbulkan oleh bisnisnya.
