
Jakarta, 25 Agustus 2025 — Media sosial Indonesia kembali bergemuruh. Tagar protes seperti “Bubarkan DPR” menyebar cepat, menggaungkan rencana aksi besar-besaran pada Senin, 25 Agustus. Ajakan ini muncul dari pesan berantai WhatsApp hingga postingan viral di X (dulu Twitter), menyerukan Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan dekrit pembubaran DPR.
Namun, di balik viralitas itu, apakah gerakan ini benar-benar memiliki kekuatan di lapangan?
1. Gaung Digital: Terlalu Dini untuk Dipandang Nyata
Seruan demonstrasi diarahkan ke Gedung DPR RI di Senayan, dengan narasi bahwa sentimen negatif terhadap lembaga terhormat itu telah mencapai puncak. Salah satu akun X menyebut:
“Sentimen publik terhadap DPR memuncak, netizen Seruan Demo Bubarkan DPR!!!”
Lainnya bahkan memberi instruksi taktis, misalnya penggunaan polybag sebagai pelindung dari gas air mata saat berhadapan dengan aparat keamanan.
Padahal, hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari kelompok mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, kelompok buruh, atau aliansi manapun yang menyatakan akan menginisiasi atau bergabung dalam aksi 25 Agustus.
2. Bedanya dengan Aksi Buruh pada 28 Agustus
Berbeda dengan protes maya di atas, KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) bersama Partai Buruh justru telah resmi mengumumkan aksi. Mereka berencana turun ke jalan Kamis, 28 Agustus, di depan DPR RI dan Istana Presiden, dengan tuntutan konkret:
- Kenaikan upah minimum nasional sebesar 8,5%–10,5% (mengacu pada putusan MK red. 168)
- Menghapus praktik outsourcing
- Dilakukan secara serentak di 38 provinsi dan lebih dari 300 kota/kabupaten—menghadirkan ribuan buruh ke Jakarta dari wilayah seperti Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, hingga Tangerang.
Dengan demikian, rencana demonstrasi 25 Agustus dan 28 Agustus jelas berbeda baik dari segi penginisiasi maupun tuntutan.
3. Profil Aksi “Bubarkan DPR”: Lebih Viral Daripada Nyata
Kehebohan soal demo bubarkan DPR nampaknya lebih terkontaminasi oleh emosi digital ketimbang gerakan masif nyata. Hingga saat ini:
- Tidak ada catatan aksi lapangan, izin, atau deklarasi dari ormas/komunitas resmi.
- Model pelindung seperti polybag mengindikasikan kesiapan menghadapi bentoro—seperti template dari video viral—bukan sinyal aksi konkret.
- Bila aksi seperti ini benar-benar diinisiasi, biasanya awalnya akan diumumkan secara formal—apakah lewat konferensi pers atau media massa resmi.
4. Tunjangan Rp 50 Juta: Sumber Amarah Publik
Latar belakang sentimen ini kemungkinan dipicu oleh gejolak karena tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan untuk setiap anggota DPR.
- Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan tidak ada kenaikan gaji pokok—tunjangan itu merupakan kompensasi karena rumah jabatan tidak lagi disediakan oleh negara. Semua sudah melalui kajian dan menyesuaikan harga rumah di Jakarta .
- Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menilai nominal tersebut masih masuk akal mengingat biaya sewa di sekitar Senayan. Ia menyebut Rp 50 juta adalah “make sense” .
Namun, perbandingan tajam muncul dari pemimpin buruh, Said Iqbal, yang menyinggung bahwa DPR bisa mendapatkan hingga Rp 154 juta per bulan (gaji + tunjangan), atau sekitar Rp 3 juta per hari—sementara pekerja outsourcing atau informal hanya mendapat sekitar Rp 150–50 ribu per hari .
Kesenjangan ini menyalakan kemarahan publik dan menjadi bahan bakar protes digital.
5. Kesimpulan Awal: Demo 25 Agustus Lebih Viral daripada Realistis
Aspek | Demo 25 Agustus (“Bubarkan DPR”) | Aksi KSPI 28 Agustus |
---|---|---|
Penginisiasi | Tidak jelas, viral di medsos | Resmi oleh KSPI & Partai Buruh |
Tuntutan | Bubarkan DPR via dekrit | Upah minimum, outsourcing |
Skala & Koordinasi | Tak ada bukti kesiapan lapangan | Dipersiapkan di banyak provinsi |
Legalitas/Izin | Belum diumumkan | Diprediksi dengan izin formal |
Hingga kini, protes 25 Agustus lebih menyerupai gelombang emosi maya—tanpa struktur nyata. Publik perlu waspada terhadap “hoaks mobilisasi” yang bisa memicu keresahan tanpa isi nyata. Sementara itu, aksi buruh 28 Agustus tampak lebih solid dan bisa diantisipasi pemerintah.