September 16, 2025

Washington–Seoul — Gelombang emosi, diplomasi, hingga trauma menyelimuti hubungan Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan usai razia imigrasi besar-besaran di Georgia pada awal September 2025. Dalam peristiwa itu, lebih dari 300 pekerja asal Korea Selatan ditangkap, diborgol, dan ditahan di pusat detensi imigrasi sebelum akhirnya dipulangkan ke tanah air mereka.

Insiden ini segera menimbulkan kegaduhan, bukan hanya karena jumlah pekerja yang terjaring sangat besar, tetapi juga lantaran lokasi penggerebekan adalah pabrik baterai hasil kerja sama Hyundai dan LG Energy Solution—simbol penting kolaborasi industri antara Seoul dan Washington.

Wakil Menteri Luar Negeri AS, Christopher Landau, langsung menyampaikan pernyataan resmi yang menegaskan sikap pemerintahannya. Ia mengaku menyesal atas penggerebekan tersebut dan menyebut peristiwa itu harus dijadikan titik balik dalam memperbaiki sistem.

“Wakil Menteri Landau menyatakan penyesalan yang mendalam atas insiden tersebut dan mengusulkan untuk menggunakannya sebagai momentum memperkuat hubungan Korea Selatan–AS,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Korea Selatan.

Menurut Landau, Presiden Donald Trump sendiri memiliki “kepentingan tinggi” terhadap kasus ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa persoalan bukan sekadar isu imigrasi, melainkan juga menyangkut kepentingan politik, ekonomi, dan hubungan bilateral.

Kronologi Penggerebekan

Razia imigrasi dilakukan pada 4 September 2025 di sebuah kompleks pabrik baterai di Georgia. Pabrik tersebut merupakan hasil investasi bersama antara Hyundai dan LG Energy Solution, dua perusahaan raksasa Korea Selatan yang tengah memperluas basis produksinya di AS untuk mendukung industri kendaraan listrik.

Dalam operasi mendadak itu, sebanyak 316 pekerja asal Korea Selatan ditangkap, bersama belasan tenaga kerja lain dari China, Jepang, dan Indonesia. Menurut kesaksian, para pekerja sempat diborgol di tangan dan kaki layaknya kriminal.

Mereka kemudian dibawa ke pusat detensi imigrasi di Folkston, Georgia, untuk menjalani proses pemeriksaan. Setelah melalui tekanan diplomasi dari Seoul, pemerintah AS akhirnya menyetujui pemulangan para pekerja dengan menggunakan penerbangan carter khusus.

Pada 12 September 2025, rombongan pekerja tiba di Bandara Incheon, Korea Selatan. Suasana haru menyambut mereka. Tangis pecah ketika para keluarga memeluk sanak saudara yang baru saja melewati hari-hari penuh tekanan di pusat detensi.

“Saya pulang, saya bebas,” seru seorang pekerja sambil meneteskan air mata ketika disambut keluarganya.

Namun, kebahagiaan itu tak sepenuhnya menghapus trauma. Banyak pekerja mengaku masih terguncang oleh perlakuan yang mereka alami selama ditahan.

Seorang pekerja bernama Jang Yeong-seon mengaku dirinya dan rekan-rekan sama sekali tidak tergoda dengan tawaran Presiden Trump agar sebagian dari mereka tetap tinggal untuk melatih tenaga kerja Amerika.

“Tidak ada yang benar-benar ingin tetap tinggal,” ujar Jang dalam wawancara dengan Associated Press.

Kesaksian lain menggambarkan kondisi buruk di pusat detensi. Seorang pekerja anonim mengatakan mereka harus berbagi ruangan sempit, di mana toilet ditempatkan bersebelahan dengan tempat tidur sekaligus area makan.

“Setiap hari kami merasa terhina. Kami hanya pekerja, bukan kriminal,” ungkapnya.

Trump dan Tawaran Kontroversial

Sebelum pemulangan disepakati, Presiden Donald Trump sempat melontarkan gagasan kontroversial. Ia disebut menahan keputusan deportasi dan menawarkan agar sebagian pekerja Korea Selatan tetap tinggal di AS. Alasannya, mereka bisa membantu melatih tenaga kerja lokal Amerika dalam bidang teknologi baterai.

Namun, tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh mayoritas pekerja. Mereka merasa pengalaman ditangkap, diborgol, hingga ditahan sudah cukup membuat mereka kehilangan rasa aman untuk tinggal di negeri Paman Sam.

Kasus ini memicu diskusi luas di Korea Selatan tentang perlakuan pemerintah AS terhadap tenaga kerja asing. Bagi publik Seoul, penggerebekan itu dianggap mencederai hubungan kedua negara yang selama ini dikenal sebagai sekutu erat, baik di bidang politik maupun ekonomi.

Meski Wakil Menteri Landau telah menyampaikan permintaan maaf, para pengamat menilai insiden ini meninggalkan catatan serius. Seoul mendesak Washington untuk memperbaiki prosedur pengawasan imigrasi agar tidak menimbulkan perlakuan yang dianggap tidak manusiawi.

Di sisi lain, ada juga pandangan optimistis bahwa peristiwa ini bisa menjadi momentum positif. Jika ditindaklanjuti secara serius, AS dan Korea Selatan bisa bekerja sama memperkuat regulasi tenaga kerja, memperbaiki perlindungan pekerja asing, serta memastikan kolaborasi industri—seperti pada sektor baterai listrik—tidak terganggu oleh isu imigrasi.

Christopher Landau menekankan bahwa pemerintah AS berkomitmen memperbaiki sistem agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.

enggerebekan imigrasi di Georgia yang menjerat lebih dari 300 pekerja asal Korea Selatan menjadi cermin rapuhnya hubungan antara bisnis global, regulasi imigrasi, dan diplomasi internasional.