August 25, 2025

Jakarta – Suasana tegang mewarnai Kompleks Parlemen Senayan pada Senin (25/8/2025). Di tengah aksi unjuk rasa besar-besaran yang berujung ricuh, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap melanjutkan agenda rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran bersama sejumlah organisasi masyarakat (Ormas). Namun, rapat yang seharusnya berlangsung panjang terpaksa dipersingkat hanya sekitar 30 menit.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menjelaskan bahwa keputusan mempercepat rapat bukan tanpa alasan. Ia khawatir situasi di luar gedung semakin tidak terkendali dan dapat menyulitkan akses keluar-masuk bagi anggota DPR maupun para peserta rapat.

“Mengingat situasi terus bergulir di luar, ini yang kami khawatirkan. Kalau kita terlalu lama, nanti akhirnya sulit kita keluar dari kompleks parlemen,” ujar Dave dalam rapat singkat tersebut.

Pandangan Ormas Diminta Tertulis

Dalam kesempatan itu, Dave meminta agar pandangan, kritik, maupun masukan dari berbagai Ormas tidak disampaikan secara lisan di forum, melainkan dalam bentuk tertulis. Menurutnya, mekanisme ini lebih efisien mengingat kondisi keamanan tidak memungkinkan rapat berlangsung panjang.

“Jadi kalau kita semua sepakat, bilamana ada yang ingin pendalaman atau pertanyaan, tolong disampaikan tertulis saja melalui sekretariat. Nanti narasumber bisa menjawab, lalu kita rangkum di meja kerja Panja,” lanjut Dave.

Komisi I DPR menargetkan pembahasan RUU Penyiaran dapat selesai pada tahun 2025 ini. Setelah Panitia Kerja (Panja) menuntaskan tugasnya, draf revisi akan diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk diproses lebih lanjut.

“Insyaallah bila Tuhan menghendaki, Panja bisa selesai tahun ini. UU Penyiaran yang berlaku sekarang dibuat tahun 2002, dan sejak 2011 wacana revisi sudah digulirkan, tetapi tidak kunjung rampung. Saatnya kita selesaikan,” tegas Dave.

Demonstrasi Berlanjut Hingga Ricuh

Di luar gedung DPR, ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat menggelar aksi menolak sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran yang dinilai berpotensi membungkam kebebasan pers dan kreativitas publik. Aksi yang awalnya berlangsung damai, berubah ricuh ketika aparat keamanan berusaha membubarkan massa yang mencoba merangsek masuk ke area parlemen.

Situasi memanas ketika ledakan petasan terdengar di sekitar Gerbang Pancasila. Ledakan itu membuat massa panik, bahkan salah satu peserta aksi dilaporkan mengalami luka di tangan dan segera dievakuasi menggunakan sepeda motor.

Kericuhan semakin menjadi ketika sekelompok demonstran berhasil mendobrak pintu kecil gedung DPR. Mereka menyeret masuk sebuah sepeda motor dan langsung membakarnya di halaman dalam. Api membumbung tinggi, disertai asap hitam pekat yang mengepul ke udara. Tidak berhenti di situ, massa juga merusak pos keamanan DPR.

Polisi Tembakkan Gas Air Mata

Menghadapi situasi yang semakin tidak terkendali, aparat kepolisian bergerak cepat. Dengan menggunakan gas air mata dan tembakan water cannon, polisi berusaha memukul mundur massa aksi. Barisan aparat dengan tameng membentuk barikade untuk menghalau massa agar tidak masuk lebih jauh ke area gedung.

Sekitar pukul 12.50 WIB, polisi mulai menyisir Jalan Gatot Subroto untuk membubarkan massa yang bertahan. Bentrokan sempat berlangsung cukup sengit, dengan massa melemparkan berbagai benda ke arah aparat, termasuk botol dan batu.

Meski begitu, perlahan-lahan massa mundur ke arah Jalan Gerbang Pemuda. Polisi terus mengimbau melalui pengeras suara agar massa segera membubarkan diri karena situasi dianggap tidak lagi kondusif.

Jalanan Sekitar DPR Lumpuh

Akibat bentrokan tersebut, sejumlah ruas jalan di sekitar Senayan lumpuh total. Jalan Gelora yang menghubungkan kawasan Gelora Bung Karno hingga Slipi sempat ditutup massa aksi. Ribuan kendaraan terjebak macet panjang, sementara pejalan kaki kesulitan melintas.

Situasi baru berangsur kondusif setelah aparat keamanan berhasil memukul mundur massa menjauh dari gerbang utama DPR. Namun, sebagian besar demonstran masih bertahan di titik tertentu sambil terus berorasi dari atas mobil komando.

Revisi RUU Penyiaran Jadi Sorotan

Revisi UU Penyiaran memang menuai polemik sejak pertama kali digulirkan. Beberapa pasal dianggap bisa membatasi independensi pers, mengancam kebebasan berekspresi di ruang digital, hingga berpotensi mengekang kreator konten.

Sejumlah organisasi jurnalis dan aktivis kebebasan berekspresi menolak draft tersebut, sementara DPR bersikukuh bahwa revisi diperlukan untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan teknologi media yang kian pesat.

Komisi I DPR menegaskan bahwa masukan dari publik tetap akan diakomodasi, meski proses RDPU pada Senin itu berlangsung singkat. Dave Laksono menyebut, semua aspirasi tertulis akan dirangkum sebagai bahan pertimbangan Panja.

Insiden ricuh di depan Gedung DPR menunjukkan tingginya tensi publik terhadap revisi RUU Penyiaran. Di satu sisi, DPR berambisi menyelesaikan revisi pada tahun ini setelah tertunda lebih dari satu dekade. Namun di sisi lain, masyarakat sipil menuntut agar revisi tidak menjadi alat pembungkaman demokrasi.

Apapun hasil akhirnya, revisi UU Penyiaran akan menjadi salah satu produk legislasi paling krusial di 2025. Masyarakat kini menunggu, apakah DPR benar-benar mendengar suara rakyat, atau justru mempercepat proses legislasi di tengah gelombang protes yang semakin membesar.