
Di tengah kemacetan dan padatnya lalu lintas Jakarta, mobil Low Cost Green Car (LCGC) seperti Daihatsu Ayla menjadi pilihan populer masyarakat. Harganya terjangkau, perawatannya mudah, dan konsumsi bahan bakarnya irit. Namun, bagi Darlian Angga Kusuma, Ayla bukan sekadar kendaraan untuk berpindah tempat—ia adalah kanvas untuk berkarya.
Dengan sentuhan modifikasi bergaya shakotan khas Jepang, dipadu nuansa budaya otomotif tahun 1990-an, Angga berhasil menciptakan Ayla yang tampil elegan namun tetap simpel. Perpaduan ini membuat mobilnya menjadi pusat perhatian, baik di jalanan maupun di komunitas pecinta modifikasi.
Kisah ini berawal pada tahun 2019. Saat itu, Angga yang masih duduk di bangku kuliah mendapat tawaran dari orang tuanya untuk mengganti mobil lamanya, Suzuki Jimny tahun 1985.
“Jimny itu sudah sering bolak-balik bengkel. Orang tua khawatir memakan terlalu banyak waktu dan biaya. Akhirnya ditukar dengan Ayla ini,” kenang pria kelahiran 1999 tersebut.
Mobil yang ia terima adalah Daihatsu Ayla tipe M keluaran 2015. Awalnya, kendaraan mungil ini hanya difungsikan sebagai mobil kampus. Namun, godaan modifikasi mulai datang ketika ia “diracuni” oleh teman kuliahnya.
“Awalnya sederhana, cuma ganti sedikit-sedikit. Lama-lama keterusan,” ujar Angga sambil tersenyum.
Shakotan: Sentuhan Jepang di Jalanan Jakarta
Angga memilih aliran shakotan, gaya modifikasi Jepang yang identik dengan ground clearance rendah dan penggunaan pelek berdiameter kecil.
“Banyak yang bilang sekarang modifikasinya mengarah ke culture style, tapi saya tetap menyebutnya shakotan,” tegas Angga.
Keunikan Ayla miliknya terlihat jelas pada eksterior. Ia menambahkan stripping di sisi kanan dan kiri, namun dengan desain berbeda di tiap sisi. Hal ini memberikan kesan asimetris yang jarang ditemui.
Pelek yang digunakan pun bervariasi—mulai dari pelek kaleng R14 dengan dop Ford Laser hingga Enkei Spoke F R14. Semua dibalut ban Falken Ziex ukuran 175/65 R14. “Saya suka gonta-ganti pelek biar nggak monoton,” tambahnya.
Masuk ke bagian interior, sentuhan retro ala tahun 90-an terasa kental. Setir kayu berdiameter 13,5 inci menjadi pusat perhatian, dilengkapi shift knob Dragon Ball, karpet bermotif checkered flag, serta third brake lamp model tiang Hella—aksen yang sangat populer di era 90-an.
Ia juga menambahkan lampu baca Hella Kobra untuk memperkuat nuansa klasik. “Saya ingin mobil ini punya cerita, bukan sekadar modif asal tempel,” ujar Angga.
Menariknya, Angga membiarkan sektor mesin Ayla tetap standar. Fokus modifikasinya lebih pada tampilan dan pengendalian. Satu-satunya ubahan teknis adalah pemasangan knalpot dengan resonator Techpro yang menghasilkan suara halus namun tegas.
Untuk menopang gaya shakotan, ia memasang coilover Infinity dari Eldee di kaki-kaki. Setting suspensi dibuat rendah, namun tetap nyaman untuk penggunaan harian.
Modifikasi ini tidak dilakukan secara instan. Selama hampir lima tahun, Angga meracik Ayla-nya secara bertahap, mengutamakan kualitas komponen dan keserasian desain. Total biaya yang ia keluarkan sekitar Rp 10 juta—jumlah yang tergolong hemat mengingat hasil yang dicapai.
“Bagi saya, modifikasi bukan soal mahalnya biaya, tapi bagaimana mobil ini bisa merepresentasikan selera dan karakter saya,” kata Angga.
Bagi Angga, Ayla modifikasinya adalah bentuk ekspresi diri. Ia menolak mengikuti tren secara membabi buta, dan lebih memilih mengombinasikan inspirasi budaya otomotif Jepang dengan kenangan era 90-an yang ia sukai.
Hasilnya adalah mobil yang tidak hanya tampil beda, tapi juga punya cerita dan identitas yang kuat. “Kalau orang lihat mobil ini, saya ingin mereka tahu ini mobil saya tanpa harus lihat pelat nomornya,” ujarnya.
Kisah Angga adalah bukti bahwa mobil harian dengan harga terjangkau pun bisa menjadi karya seni berjalan. Dengan konsep matang dan eksekusi yang rapi, LCGC seperti Daihatsu Ayla dapat tampil memikat tanpa kehilangan fungsionalitasnya.
Bagi sebagian orang, mobil hanyalah alat transportasi. Namun, bagi Darlian Angga Kusuma, mobil adalah media untuk mengekspresikan kreativitas, membangun identitas, dan membawa nuansa budaya lintas generasi ke jalanan Jakarta.
Dan di tengah hiruk-pikuk ibu kota, Ayla shakotan ala 90-an miliknya melaju dengan percaya diri—membawa pesan bahwa gaya dan karakter tak selalu ditentukan oleh harga mobil, tetapi oleh selera pemiliknya.