Penahanan I Wayan Agus Suwartama (IWAS), seorang difabel yang dikenal dengan sebutan Agus Buntung yang menjadi tersangka kasus pelecehan seksual di NTB, memicu kehebohan. Saat dimasukkan ke Lapas Kelas II A Lombok Barat, Agus menangis histeris dan bahkan mengancam bunuh diri. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, terutama keluarga dan pendamping hukumnya.
Kasus ini menuai perhatian publik karena status disabilitas Agus yang tanpa kedua tangan, namun terjerat dalam kasus hukum serius. Agus sebelumnya menjalani tahanan rumah, tetapi statusnya berubah menjadi tahanan rutan setelah berkas kasusnya dinyatakan lengkap. Jaksa penuntut memastikan bahwa Agus akan mendapatkan fasilitas khusus selama di tahanan.
Penahanan Agus Buntung dimulai pada Kamis, 9 Januari 2025. Menurut Kepala Kejari Mataram, Ivan Jaka, keputusan menahan Agus didasarkan pada ancaman hukuman berat dalam kasusnya. Agus disangkakan melanggar Pasal 6 huruf A dan/atau huruf C juncto Pasal 15 ayat (1) huruf E UU TPKS dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara.
Agus langsung menunjukkan reaksi emosional yang ekstrem saat dibawa ke lapas. Ia menangis histeris dan menolak masuk ke sel tahanan. Kondisinya sebagai penyandang tunadaksa tanpa kedua tangan menjadi alasan utama permohonannya untuk tetap di tahanan rumah, tetapi ditolak oleh jaksa.
Agus, yang lahir dengan keterbatasan fisik, dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh semangat. Meskipun menghadapi tantangan sehari-hari, ia selalu berusaha untuk menjalani hidupnya dengan penuh arti. Namun, saat berita mengenai dugaan pelecehan ini mencuat, dunia Agus seolah runtuh. Dia, yang selama ini berjuang melawan stigma dan diskriminasi, tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena tuduhan yang sangat serius.
Kasus Agus memicu diskusi lebih luas mengenai kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Banyak yang berpendapat bahwa mereka sering kali tidak diberi perlindungan yang memadai dari pihak berwenang, bahkan dalam situasi-situasi yang sangat serius seperti ini. Keterbatasan fisik tidak seharusnya membuat seseorang pada posisi yang lebih rentan di hadapan hukum.
Masyarakat pun mulai bersolidaritas. Aktivis hak asasi manusia dan organisasi penyandang disabilitas ikut angkat bicara, menekankan pentingnya keadilan yang berpihak kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang fisik atau mental. Mereka menuntut agar proses hukum yang berjalan terhadap Agus dilakukan dengan adil, di mana semua bukti dan keterangan disampaikan secara jujur.
Dalam perjalanan kasus ini, menjadi jelas bahwa Agus bukan sekadar individu yang dituduh. Ia adalah simbol dari perjuangan lebih besar untuk keadilan dan pengakuan hak asasi manusia, terutama bagi penyandang disabilitas. Tangis Agus tidak hanya menggambarkan rasa takut dan ketidakberdayaan, tetapi juga menggugah kesadaran kita akan perlunya membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil.